Jumat, 06 Juli 2012

Kisah Kasih Suami - Istri: Istriku sayang, Istriku malang Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel yang memenuhi kepala ini. Duh… betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar memuncak seperti ini makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan lidah. Sayur sop ini rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin nggak ketulungan. “Ibu…ibu, kapan kamu dapat memasak dengan benar…? Selalu saja, kalau tak keasinan…kemanisan, kalau tak keaseman… ya kepedesan!” Ya, aku tak bisa menahan emosi untuk tak menggerutu. “Sabar ayah, katanya mau jadi suami yang baik, yang penyabar, baru gitu aja kok udah marah-marah, kayak kehilangan apa aja,” ucap istriku. “Iya, sabar sih sabar bu, tapi kalo tiap hari makan terus-menerus seperti ini, ayah mana tahan…” jawabku dengan nada tinggi. Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan kepala dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya sudah merebak. Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan ketenangan di rumahku. Namun apa yang terjadi…? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal pecah, Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini. Piring-piring kotor berpesta pora di dapur, dan cucian… ouw… berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena berhari-hari direndam dengan detergen tapi tak juga dicuci. Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada. “Aduh, ibu….ibu, bagamana ayah tak selalu kesal kalau keadaan terus menerus begini…,” ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. Belum selesai aku marah, sudah terdengar ledakan tangis istriku yang begitu pilu. “Sudahlah bu, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri shalihat…? Isteri shalihat itu tidak cengeng,” bujukku hati-hati setelah melihat air matanya menganak sungai di pipinya. “Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus, ayah nggak ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil muda…” Ucap isteriku lagi, sementara air matanya kulihat tetap merebak. Suatu saat, istri tercintaku ini memintaku untuk mengantarkannya pergi ke sebuah acara, tetapi aku menolaknya karena ada rapat penting di kantor. Sebenarnya aku tak tega membiarkan ia pergi dengan naik bis umum, karena ia sedang hamil. Tapi apa boleh buat, rapat di kantor rasanya lebih penting dari pada mengantarkan istriku. Pertemuan hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku menghadiri acara. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah. Dug! Hati ini menjadi luruh. “Oh….bukankah ini sandal jepit isteriku?” tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku. Sampai kemana-mana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu bagus. “Maafkan aku sayang,” pinta hatiku. “Krek…,” suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ibu-ibu berjalan melintas sambil menggendong bocah. Pakaian mereka begitu indah dan cerah. Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar. Penatianku berakhir ketika sesosok tubuh berbaju hitam melintas. “Ini dia istriku tersayang!” pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri. Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihanmu. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: “Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya.” Sedang aku…? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku…? Terlalu sering ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami terdzalim!!! “Buuu…!” panggilku. Tubuh itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia. “Ayah…!” bisiknya pelan dan girang. Sungguh, aku baru melihat isteriku segirang ini. “Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?” sesal hatiku. Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya. “Alhamdulillah…,” ucapnya dengan suara tulus. Ah, sayangku, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri baik sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku’ Ini contoh yg dapat ditiru buat sbagian suami yg kurang perhatian terhadap istrinya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar